EUPHORIA POLITIK BOLA

Melihat respon yang tidak begitu bagus atas tulisan saya sebelumnya, ‘Tahi Kucing’ – disebabkan perbedaan sudut pandang- , sempat membuat saya agak menciut nyali untuk menulis lagi. Tapi dorongan untuk selalu ingin mengurai apa yang ada di otak membuat saya tidak bisa menahan jari-jari ini mengikuti gerak langkah pikiran saya. Maka untuk kali ini saya ingin mengulas hal yang sangat populer dan hampir 80% manusia di dunia ini menyukainya, yaitu BOLA. Dan karena saya adalah Orang yang berdiri di tanah air Indonesia, maka saya tidak akan jauh-jauh mengulas bola dari gawang orang lain, melainkan bola dari gawang kita sendiri saja.

Tepat pada tanggal 1 Desember 2010, wajah Indonesia mendadak berubah. Padangan Masyarakat seakan dibelokkan dari fokus mereka pada masalah korupsi Gayus ke arah dunia persepakbolaan Indonesia. Masyarakat yang dulu tidak pernah menyentuh sedikitpun channel TV yang menyiarkan sepak bola tiba-tiba seakan tidak sabar menunggu berita dan informasi tentang persepakbolaan bahkan menyaksikan pertandingannya. Mulai dari anak-anak, para remaja, bapak-bapak, bahkan yang mengejutkan adalah para ibu yang biasanya asyik menonton sinetron stripping dan infotainment, rela meninggalkannya demi menonton permainan dari timnas kita. Apakah atau Siapakah yang mereka tunggu?

Adalah Perebutan Piala Suzuki AFF Cup 2010 yang menjadi tonggak bangkitnya persepakbolaan Indonesia, ketika Indonesia berhasil memastikan satu tiket ke semifinal setelah menang telak atas Laos 6-0. Gemuruhnya dukungan suporter di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) kala itu seolah menjadi “doping” tersendiri bagi pemain dan penonton di luar GBK, termasuk penikmat sepak bola di rumah. Meski akhirnya Indonesia harus menerima kekalahan atas Malaysia saat final di league ke-2, tetapi masyarakat sudah terlanjur terbius oleh performa permainan Timnas kita.

Uforia sepak bola ini tidak hanya membuat masyarakat menjadi penonton dan pendukung fanatic Timnas, akan tetapi yang tidak kalah seru adalah lahirnya pengamat-pengamat sepak bola dadakan yang tidak hanya didominasi oleh tokoh-tokoh olah raga, melainkan para pekerja kantor, guru (termasuk saya..he..he), bahkan tukang becak dan pedagang sayurpun pun tidak kalah pintar memprediksikan siapa yang bakal menjadi juara piala AFF 2010. Sedikit lebih jauh lagi, pengamat politikpun berlomba-lomba memberikan analisanya dengan mengait-kaitkan antara sepak bola dengan dunia politik.

Dan yang menarik, berkaca pada pertandingan sepak bola internasional, maka Gurita ala Indonesia pun dikeluarkan demi menebak siapa pemenang pada pertandingan Leage ke 2 Final AFF 2010. Gudel (Gurita Dewa Laut), Paul si Gurita ala Indonesia, mencoba ikutan memprediksi juara AFF 2010 dengan berputar-putar di bendera Indonesia yang menandakan bahwa Indonesia akan memenangkan pertandingan malam itu. Meski pada akhirnya tebakannya tidak sempurna. Timnas Indonesia harus tunduk pada Timnas Malaysia yang bermain lebih bagus.

Tidak terlalu jelas apa yang menyebabkan pemain-pemain timnas kita mengalami kekalahan pada pertandingan ini. Banyak yang bilang kekalahan itu akibat letihnya mental pemain akibat berbagai kegiatan diluar latihan yang mereka dilakukan seperti menghadiri acara tasyakuran di rumah Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie. Disamping, mengikuti kegiatan istighosah di salah satu pesantren di Jakarta.

Kekalahan Timnas dalam perebutan piala AFF 2010, menarik kembali nama ketua PSSI nya. Nurdin Halid adalah orang yang paling disebut-sebut sebagai orang yang bertanggung jawab atas kekalahan Timnas pada piala AFF 2010 yang lalu. Sudah tujuh tahun Nurdin memimpin PSSI, tetapi tidak ada prestasi yang dihasilkan. Dan ketika Timnas berhasil meraih simpati dari masyarakat karena prestasinya di ajang piala AFF 2010, Nurdin muncul bak pahlawan kesiangan. Tragisnya lagi dia menganggap bahwa prestasi timnas di Piala AFF 2010 merupakan karya Partai Golkar yang dipersembahkan untuk seluruh rakyat Indonesia.

Nurdin yang juga Koordinator Wilayah Sulawesi DPP Golkar tersebut menyampaikan pernyataannya di depan ratusan kader dan simpatisan Golkar Sulawesi Tengah saat menghadiri deklarasi pasangan Aminuddin Ponulele-Luciana Bacule, calon gubernur dan wakil gubernur Sulteng.

Sontak publik bereaksi keras atas pernyataan tersebut. Publik menganggap Nurdin telah mempolitisasi Sepak bola. Pernyataan tersebut juga membuktikan sepak bola kita telah ditunggangi oleh Elite politik.

Maka tidak heran desakan untuk menurunkan nurdin begitu kuat. Masyarakat mengharap persepakbolaan Indonesia dipimpin oleh orang yang tidak terlibat dalam lingkaran elit politik sehingga bisa membawa pada kemajuan sepakbola Indonesia.

Begitu tingginya keinginan publik akan tontonan sepak bola yang bagus dan bebas dari politisasi para penguasanya, Pada 18 September 2010 lahirnya LPI yang dibentuk dan dimotori oleh pengusaha Arifin Panigoro.

Terbentuknya LPI ini tentu membawa angin segar dalam merevolusi persepakbolaan nasional. Kompetisi ini dibuat dalam rangka menciptakan kemandirian klub-klub sepak bola di Indonesia agar tidak selalu bergantung pada dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) daerah masing-masing.

Memang selama ini, klub sangat bergantung kepada APBD, yang merupakan uang rakyat.  Dan jika LPI benar-benar tidak tergantung pada APBD, maka secara tidak langsung Liga Primer Indonesia mampu menyelamatkan uang negara sebesar Rp 600 miliar setiap tahunnya. LPI juga diharapkan bisa membawa klub-klub di Indonesia menjadi klub yang benar-benar profesional.

Sayangnya, LPI tidak mendapat dukungan dari PSSI. PSSI menganggap LPI adalah organisasi illegal yang tidak boleh menyelenggarakan pertandingan dalam bentuk apapun. Maka dikeluarkanlah surat peringatan kepada LPI supaya mengurungkan niatnya menggelar pertandingan. Larangan tersebut memicu reaksi publik yang menganggap bahwa PSSI tidak dewasa dalam menghadapi masalah ini. Apalagi dengan melarang pemain yang berlaga di LPI untuk membela Timnas.

Tentulah menjadi tidak fair dan merupakan sebuah diskriminasi karena setiap warga negara yang memiliki kelayakan berhak masuk ke dalam Timnas. Sebagaimana Perpres Nomor 22 pasal 9 ayat 2 tentang Program Indonesia Emas (Prima) bahwa semua atlet berprestasi berhak mengikuti seleksi nasional.

“Intinya tidak boleh ada diskriminasi”.

Terlepas dari itu semua, yang menarik adalah, Persaingan di antara media elektronik nasional. Sejak adanya LPI, Media TV seakan terpecah menjadi 2, yaitu Media Elektronik Pendukung LPI dan Pendukung LSI (yang notabene anaknya PSSI).

Indosiar dan MetroTV sebagai TV yang selama ini sebagian besar programnya berkutat pada arena politik. Akhir2 ini juga tidak mau ketinggalan untuk menyiarkan berita seputar pertandingan LPI.

Dan penayangan pertandingan LPI di Surabaya secara live adalah salah satu bentuk dukungan Media Elektronik ini pada LPI.

Sedangkan ANTV dan TVOne sebagai TV rivalnya, seakan-akan tidak mau kalah dengan membabi buta, secara terus menerus menyiarkan pertandingan sepak bola LSI.

Sudah jamak orang tahu kalau media-media elektronik tersebut milik elit politik. Jadi meski mereka berkoar-koar akan menjadikan liga tersebut sebagai ajang pertandingan yang tidak melibatkan elit politik dan tidak dijadikan kendaraan politik, tentu masyarakat bakal sulit menerima. Seperti sulitnya meyakinkan kalo bola tidak lagi bundar.

You may also like...