Belajar di Singapura: Mengenal Sistem Pendidikan Singapura

Aktivitas hari ini diawali dengan sarapan di resto hotel Shangri-La yang mulai dibuka pukul 06.30 waktu setempat. Terdapat perbedaan waktu lebih awal 1 jam antara Singapura dan Waktu Indonesia Bagian Barat (WIB).

Kegiatan pelatihan hari ini akan dilaksanakan di kampus NIE (Nanyang Institute of Education) tepat pukul 9. Perjalanan menuju kampus ditempuh kurang lebih 45 menit dari hotel. Kali ini kami harus melakukan kegiatan tepat waktu karena bus akan menjemput kami tepat pukul 8. Budaya disiplin waktu di Singapura membuat kami benar-benar harus siap.

“Bapak/Ibu, mohon segera menyelesaikan sarapannya karena bus sudah menunggu”, seru koordinator kegiatan tegas. Seorang teman yang masih mengaduk teh langsung panik, “Lho, sudah dipanggil? Baru makan dua sendok…”
Saya menahan tawa, “Bu, ayo cepat. Ini Singapura. Telat satu menit bisa ditinggal bus.”

Naik bus menuju NIE

Segera kami meninggalkan resto menuju bus. Sopir bus sudah siap, duduk tegak, wajahnya tenang, seperti sudah hafal standar ketepatan waktunya.

Sampai di NIE, kami disambut dengan ramah oleh panitia hari itu. Suasananya sangat rapi dan profesional. Semua peserta melakukan registrasi cepat dan mendapatkan kartu tanda peserta pelatihan. Panitia menyambut kami dengan ramah. Proses registrasi berjalan cepat.

Selanjutnya kami diarahkan menuju executive seminar room. Direktur NIE beserta narasumber telah menunggu untuk opening ceremony dalam ruangan tersebut.

Bergantian direktur NIE dan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur Bapak Aries Agung Paewai memberikan sambutan selamat datang dan ucapan terima kasih kepada pemerintah Singapura dan pihak penyelenggara di NIE.

Cinderamata untuk NIE dari Indonesia

Usai kegiatan ceremonial, langsung dilanjut dengan materi pertama tentang Overview of Singapore Education System (pengenalan sistem pendidikan di Singapura) oleh Mr. Jimmy Tan, seorang konsultan pendidikan di NIE. Mr. Jimmy membuka presentasinya dengan nada yang tenang tapi mantap.

“Sistem pendidikan yang baik bukan hanya tentang nilai… tapi tentang masa depan anak-anak.” Saya langsung menatap layar proyektor dengan lebih fokus. Di tangan saya sudah ada semua materi yang akan disampaikan Mr Jimmy hari ini.

Sambil mendengarkan, saya baca-baca slide materi yang ada. Mr Jimmy menyampaikan materinya dengan bahasa Inggris yang clear sehingga mudah dimengerti.

Mr. Jimmy Tan

Singapura memiliki ratusan sekolah, puluhan ribu guru, hingga anggaran pendidikan yang sangat besar. Singapura menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama negara. Menurut Mr. Jimmy, Singapura bergerak dari sistem yang dulu sangat akademik menuju pendidikan yang lebih menyeluruh. Mereka percaya bahwa setiap anak itu unik, tidak semua anak cocok di jalur akademik, dan sekolah harus membantu menemukan potensi, bukan menyamaratakan. Perubahan besar ini terjadi perlahan, tapi sangat terarah.

Dalam paparannya beliau menjelaskan jalur pendidikan dari SD sampai universitas. Menariknya, jalur vokasi seperti Polytechnic dan Institute of Technical Education (ITE) itu dihargai sama tinggi dengan jalur akademik. Mr. Jimmy menyampaikan “Tidak apa-apa jika anak tidak berada di jalur akademik. Yang penting ia menemukan jalurnya sendiri.”

Kalimat itu sangat menenangkan buat saya—dan mungkin untuk banyak orang tua Indonesia kalau mendengarnya.

Salah satu bagian yang paling saya sukai adalah ketika beliau menjelaskan kompetensi abad 21. Di Singapura, 21st Century Competencies bukan hanya slogan. Mereka benar-benar memasukkan karakter, keterampilan sosial-emosional, digital literacy, kemampuan berpikir kritis, kreativitas, ke dalam kurikulum.

“Oh, jadi begini kalau konsep besar itu dieksekusi dengan konsisten.” Kataku dalam hati.

Belajar tentang sistem pendidikan di Singapura

Singapura juga memiliki banyak program, mulai dari dukungan untuk siswa berkebutuhan khusus, kesehatan mental, career guidance, sampai family education. Intinya, anak dilihat sebagai manusia utuh, bukan hanya murid di kelas.

Menurut Mr. Jimmy, kualitas pendidikan Singapura itu sangat bergantung pada kualitas guru. Untuk itu mereka membangun sistem kolaborasi tiga pihak, yaitu MOE/ Minister of Education (yang membuat kebijakan), NIE/Nanyang Institute of Education (yang melatih guru sesuai kebutuhan masa depan), sekolah (yang menjalankan kebijakan di lapangan). Tidak ada yang bekerja sendiri-sendiri. Semuanya bergerak dalam satu arah.

Beliau juga memperkenalkan model V3SK yang diterapkan NIE, yaitu Values – Skills – Knowledge, yang menekankan bahwa guru bukan hanya harus kompeten, tapi juga punya nilai dan kepemimpinan. Tujuan akhirnya satu, yaitu menyiapkan anak untuk 50 tahun ke depan.

Di bagian penutup, Mr. Jimmy membagikan satu kutipan dari Menteri Pendidikan Singapura:

“Keberhasilan kita sebagai pendidik bukan diukur dari apa yang dicapai siswa selama 15 tahun bersekolah… tetapi dari apa yang mampu mereka lakukan 50 tahun setelah kita tidak lagi bersama mereka.”

Diam. Hening. Saya langsung baper mendengar ini. Saya menghela napas pelan. Sesi ditutup dengan pesan sederhana, “Don’t just be a good teacher, be a great educator.”

Hari pertama pelatihan selesai dengan kepala penuh inspirasi dan hati yang cukup hangat. Karena ternyata… belajar tidak selalu harus berat. Kadang cukup dengan membuka diri dan mendengarkan.

Peserta Single Country Training Programme – School Management and Curriculum Leadership

You may also like...